Minggu, 02 Februari 2014

Beungong Meulu dan Beungong Peukeun



Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri di Aceh, hidup dua orang kakak-beradik yang bernama Beungong Meulu dan Beungong Peukeun. Kedua orangtua mereka telah meninggal dunia. Tiap hari Beungong Peukeun mencari udang di danau. Suatu hari Beungong Peukun tidak mendapat seekor udang pun. Saat hendak pulang, dia melihat sebuah benda yang menarik hatinya. Ternyata benda itu sebutir telur.

Sesampainya di rumah, direbusnya telur tadi dan dimakannya. Sungguh aneh, keesokan harinya Beungong Peukeun merasa sangat haus. Bukan hanya itu, tubuhnya pun semakin panjang dan bersisik. Akhirnya, suatu pagi saat bangun dari tidurnya Beungong Peukun telah berubah menjadi seekor naga.

“Mengapa Kakak memakan telur itu? Kini kau menjadi seekor naga,” kata Beungong Meulu dengan terisak menyesali perbuatan kakaknya. Keesokan harinya Beungong Peukeun mengajak adiknya meninggalkan gubuk mereka. Sebelum berangkat, Beungong Peukeun menyuruh adiknya memetik tiga kuntum bunga di belakang gubuk mereka. “Ayo, naiklah ke punggungku dan peganglah bunga itu erat-erat, jangan sampai jatuh,” perintah Beungong Peukeun.

Saat melewati sungai besar, Beungong Peukeun meminum airnya hingga habis. Tiba-tiba muncul seekor naga yang marah karena perbuatan Beungong Peukeun tersebut. Keduanya bertarung sengit. Saat Beungong Peukuen memenangkan pertarungan tersebut sekuntum bunga di tangan Beungong Meulu menjadi layu.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan mereka kembali dihadang seekor naga yang besar. Kembali terjadi pertarungan. Tiba-tiba sekuntum bunga di tangan Beungong Meulu menjadi layu. Tahulah dia bahwa sebentar lagi pertarungan akan dimenangkan Beungong Peukeun.

Setelah menang bertarung, kakak-beradik itu kembali melanjutkan perjalanan me­nyeberangi lautan. Rupanya di tengah perjalanan menyeberangi lautan tersebut, Beungong Peukeun kembali diserang seekor naga. Kali ini naga yang sangat besar. Saat bunga di tangan Beungong Meulu tak kunjung layu, dia mulai khawatir.

Beungong Meulu semakin khawatir ketika Beungong Peukeun tampak mulai kewalahan menghadapi serangan sang Naga. Saat mengetahui dirinya akan kalah, Beungong Peukeun melemparkan adiknya dari punggungnya. Akhirnya Beungong Peukeun terbunuh oleh serangan naga yang sangat besar itu. Sementara itu, Beu­ngong Meulu terlempar dan tersangkut di sebuah pohon milik seorang saudagar kaya yang kemudian menikahinya.

Namun sayang, selama menjadi istri saudagar kaya tersebut, Beungong Meulu tak pernah bicara ataupun tersenyum. Dia selalu diam dan tampak sedih. Bahkan sampai mereka mempunyai seorang anak. Suaminya mencari akal untuk mengetahui penyebab kesedihan istrinya itu. Maka suatu hari suaminya berpura-pura mati sehingga anaknya menangis tersedu-sedu.

“O Anakku, ibu tahu bagaimana sedihnya hati bila ditinggal orang yang kita cintai. Ibu dulu kehilangan kakak ibu yang terbunuh oleh seekor naga di lautan. Bahkan hingga kini ibu tidak dapat menghilangkan rasa sedih itu.” Mendengar pengakuan Beungong Meulu tersebut suaminya kemudian bangun. Akhirnya, dia mengetahui penyebab kesedihan Beungong Meulu. Keesokan harinya dia mengajak Beungong Meulu pergi ke lautan, di mana dulu Beungong Peukeun bertarung melawan naga raksasa.

Saat sampai di pantai, Beungong Meulu dan suaminya melihat tulang-tulang berserakan. Beungong Meulu yakin bahwa itu tulang-tulang kakaknya. Maka, dikumpulkannya tulang-tulang tersebut kemudian suaminya membaca doa sambil memercikkan air bunga pada tulang-tulang tersebut. Atas perkenan Tuhan, tiba-tiba terjadi keajaiban. Beungong Peukeun menjelma dan berdiri di hadapan mereka. Sejak saat itu Beungong Peuken tinggal bersama adiknya dan Beungong Meulu tidak lagi membisu.


Suatu hari, Beungong Peukun berjalan-jalan di tepi pantai. Saat itu dia melihat seekor ikan raksasa berwarna kemerahan. Dihujamkannya sebilah pedang ke tubuh ikan tersebut kemudian dicongkelnya mata ikan tersebut. Karena terlalu keras, mata ikan tersebut terpelanting jauh hingga jatuh di halaman seorang penguasa di sebuah negeri. Mata ikan tersebut kemudian ber­ubah menjadi gunung. Sang penguasa merasa gelisah dengan adanya gunung di halamannya. Ia kemudian mengadakan sebuah sayembara. Barang siapa dapat memindahkan gunung tersebut dari halaman rumahnya, dia akan dijadikan penguasa di negeri itu dan dinikahkan dengan anaknya.

Beungong Peukeun yang mendengar sayembara tersebut segera berangkat ke sana. Begitu tiba di tempat yang di­maksud, dia segera mencongkel gunung tersebut dengan pedang saktinya. Dalam sekejap, gunung tersebut dapat dilemparkannya jauh-jauh. Sang penguasa menepati janjinya. Beungong Peukeun diberi kekuasaan memerintah negeri tersebut dan dinikahkan dengan putri penguasa. Demikianlah kisah tentang dua saudara ini. Akhirnya, mereka berdua hidup bahagia.

Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga

Legenda Tuan Tapa dan Putri Naga
” Alkisah, dizaman dahulu kala, di Aceh Selatan hidup sepasang naga . Sepasang naga ini, memiliki anak perempuan yang bernama Putri Naga atau Putri Bungsu. Putri ini cantik jelita.  Putri nan rupawan ini, menurut cerita didapat dari laut kepas disaat selesai badai dahsyat yang menenggelamkan sebuah kapal dari daratan cina.
Konon, pada saat itu, sepasang naga tersebut sedang menyusuri lautan yang bergelombang. Si Naga jantan tiba-tiba berhenti, tertegun memperhatikan sebuah titik hitam di tengah laut. Titik hitam itu menarik perhatiannya. Lamat-lamat titik hitam itu kian mendekat ke arah sang naga disebabkan oleh arus gelombang laut. Si Naga Jantan dan Betina terus memperhatikan titik hitam itu. Ketika titik hitam itu semakin mendekat, Sang Naga melihat adanya kayu pecahan dari sebuah kapal dan diantara kayu-kayu tersebut terdapat seorang bayi mungil tersangkut diatas kayu yang mengapung.
Bayi mungil ini terapung-apung dipermainkan ombak hingga akhirnya sepasang naga itu menolong dan mengasuhnya disarang mereka. Karena sepasang naga tersebut tidak mempunyai keturunan lalu bayi mungil itu mereka jadikan sebagai anak pungut dan diberi nama dengan Putri Bungsu atau lebih dikenal dengan nama Putri Naga. Syahdan, sepasang naga dan si putri bungsu mendiami sebuah daratan disekitar Desa Batu Itam (nama sekarang-red) Kecamatan Tapaktuan Aceh Selatan.
Memang pada masa itu memang sering terlihat masuknya kapal – kapal dagang dari negeri asing ke wilayah Aceh Selatan untuk membeli rempah-rempah yang tumbuh subur didaerah tersebut. Menurut cerita, nilam, cengkeh dan pala merupakan komoditi yang paling banyak terdapat di daratan Aceh Selatan, makanya lalu lintas perairan dikawasan itu cukup ramai.
Kembali kecerita, Sepasang naga itu sangat senang mendapatkan putri berbentuk manusia. Dengan suka cita sepasang naga tersebut mengasuh dan merawat si putri. Sementara itu, setelah selamat dan menepi kedarat orangtua kandung si Putri (asal dari cina -red) begitu sedih kehilangan buah hatinya setelah perahu mereka kandas dihempas badai dahsyat. Mereka berpikir bahwa anak perempuan kesayangannya sudah hilang tenggelam dalam laut, sehingga dengan perasaan pilu (menurut cerita) merekapun kembali kenegeri asal dengan menumpang kapal dagang lain.
Kedua Naga itu sangat menyanyangi putri pungut mereka. Bahkan, Naga betina selalu memeluk putri kecil itu dalam cengkeramnya agar tidak hilang. Layaknya anak-anak, Putri bungsu setelah sadar dari pingsannya, ketakutan dan menangis sejadi-jadinya begitu melihat sosok Naga yang menyeramkan. Walaupun sedih, sepasang naga tersebut berupaya agar Putri bungsu tidak merasa ketakutan dan mau menerima mereka sebagai keluarga barunya. Seiring waktu, Putri bungsu akhirnya menerima keadaannya dan bergaul dengan hangat dengan sepasang naga tersebut.
Saking sayangnya pada Putri Bungsu, naga jantan menciptakan tempat bermain nan indah di gunung itu. Mulai dari tempat pemandian si putri hingga tempat – tempat lainnya dipenuhi agar Putri Bungsu suka dan tidak pergi dari mereka. Semua Semua itu dilakukan agar Putri Bungsu betah tinggal bersama mereka.
Begitulah, sementara itu waktu terus bergulir. Putri Bungsu pun sudah merangkak remaja. Kedua ekor naga tersebut sangat memuji akan kecantikan Putri Bungsu. Matanya sedikit sipit, kulit yang putih serta pembawaannya yang anggun membuat sepasang naga makin sayang kepada Putri Bungsu. Mereka sangat memanjakan sang putri. Sementara itu, Putri Bungsu yang bertahun-tahun tinggal dan menetap bersama dua ekor naga dalam sebuah gua mulai merasa tidak betah. Berkali-kali dia meminta pada ‘orangtua asuhnya’ agar diperkenankan untuk melihat daratan dan melihat orang-orang, namun kedua naga tidak menyetujui. Dalam anggapan mereka, apabila si putri diizinkan keluar, maka kemungkinan untuk ditinggalkan sudah tentu ada. Itulah sebabnya Putri Bungsu tidak pernah dibawa ke daratan.
Hingga pada suatu hari, Putri Bungsu bertekat untuk segera meninggalkan kediaman orang tua asuhnya tersebut. Niat untuk melarikan diri ini pun dirancang dengan matang sehingga kedua naga yang cerdas itu tidak mengetahui. Hari demi hari terus berlalu, Putri Bungsu yang jelita semakin patuh pada aturan sang naga. Hal ini membuat sepasang naga yakin dan percaya bahwa si putri tidak akan meninggalkan mereka. Oleh karena itu, sering terlihat sepasang naga pergi mengarungi lautan dan meninggalkan Putri Bungsu sendiri di goa kediaman mereka.
Putri Bungsu bukanlah gadis yang bodoh. Walaupun sering ditinggalkan sendiri sehingga peluang untuk pergi terbuka, tapi demi menjaga kepercayaan sang naga kepadanya, dia membiarkan keadaan tersebut berlangsung. Bahkan, pada suatu hari ada terlihat sebuah kapal yang melaju agak dekat dengan kediamannya. Dalam hatinya merasa sangat gembira manakala terlihat olehnya manusia-manusia yang berpakaian rapi berdiri dianjungan kapal. Saat itu dengan berani, Putri Bungsu mulai sering menampakkan diri dipenggir goa agar kehadirannya disitu menjadi perhatian setiap kapal yang lewat.
Hingga pada ketika, disaat sepasang naga berpamitan untuk pergi agak lama sehingga harus meninggalkan sang putri sendirian digoa. Putri Bungsu sangat girang karena dalam kurun waktu tersebut, rencana untuk melarikan diri akan terlaksana. Begitulah, setelah puluhan kilometer naga berlalu, ada sebuah kapal berlayar dan kebetulan sudah menyaksikan keelokan sang putri dan nakhkoda kapal pun segera bersandar didekat pulau itu kemudian membawa Putri Bungsu berlayar. Biasanya, setiap kapal tidak berani dekat-dekat dengan pulau tersebut karena sering bertiup angin kencang dan sering membuat awak kapal sangat kerepotan menjaga agar tidak tenggelam. Hal ini disebabkan oleh ulah kedua naga itu yang tidak ingin tempat mereka didekati.
Setelah Sang Putri berlayar, ditempat lainnya, Naga betina merasa hatinya tidak nyaman sehingga memutuskan untuk kembali kekediaman mereka. Namun betapa bingungnya kedua naga itu karena keberadaan putri bungsu tidak terlihat. Seluruh sudut pulau itu mereka susuri namun Putri Bungsu sudah hilang. Naga Betina sangat sedih sementara itu naga jantan marah.
Akhirnya diputuskan untuk mencari Putri Bungsu dilautan lepas. Sasaran mereka adalah kapal-kapal yang lewat. Kebetulan dilautan terlihat sebuah titik hitam yang melaju dekat dengan sebuah pulau besar. Dengan segera kedua naga tersebut mengejarnya. Setelah mengintai, mereka melihat Putri Bungsu berada disana. Kedua naga sangat marah, mengira Putri mereka diculik manusia sehingga kapal dan seluruh penumpang menjadi terancam. Dengan ketakutan, seluruh penumpang kapal berteriak – teriak. Angin membawa teriakan mereka pada sebuah goa yang bernama Goa Kalam. Didalamnya terdapat seorang tua yang sedang bertapa. (Tidak ada keterangan yang jelas siapa nama sebenarnya dari tokoh ini-red). Orang tua ini disebut dengan Tuan Tapa. Tuan tapa yang mendengar jeritan dan teriakan ketakutan merasa tidak tentram. Lalu, Tuan tapa mengambil tongkatnya dan keluar dari goa. Dengan kesaktiannya, Tuan Tapa melihat dengan jelas ditengah lautan terjadi perkelahian antara sepasang naga dengan penumpang kapal.
Tanpa menunggu, Tuan Tapa kemudian merubah ukuran tubuhnya menjadi besar. (menurut cerita, laut didaerah Tapaktuan hanya sebatas pinggangnya -red). Setelah itu dengan pesat, Tuan Tapa menengahi perkelahian yang tidak seimbang itu. Namun sepasang naga yang sudah kalap berbalik menyerang Tuan Tapa. Karena terjadi gelombang besar akibat gerakan sepasang naga itu, Kapal pun terlempar jauh. Perkelahian antara sepasang naga dengan Tuan Tapa berlangsung seru. Bertubi – tubi kedua naga menyemburkan api dari mulutnya sementara ekor dan cakar mereka tidak ketinggalan menyerang. Begitulah, berkat kesaktian dari Tuan Tapa, semua serangan sepasang naga berhasil diredam.
Akibat perkelahian itu, Pulau besar yang berada ditengah laut pun hancur dan terpisah-pisah menjadi 99 buah (selanjutnya disebut dengan Pulau Banyak, pulau ini berada di kabupaten Aceh Singkil)
Hingga pada suatu ketika, Tongkat Tuan Tapa berhasil mengenai tubuh naga jantan sehingga hancur terberai. Darahnya memancar keluar, sebagian besar terpencar ke bagian pesisir dan membeku (Selanjutnya tempat dimana darah naga itu tumpah disebut dengan Desa Batu Sirah atau Batee Mirah). Sementara hati dan jantungnya juga tercampak kepesisir (daerah ini disebut dengan desa Batu Itam atau Batu yang menghitam -red). Naga Jantan mati dengan tubuh hancur.
Melihat pasangannya mati,  Naga betina ketakutan lalu melarikan diri.  Demi menghindar dari kematian, Naga Betina yang panik lari tanpa tujuan dan menabrak sebuah pulau lainnya sehingga pecah menjadi dua pulau (selanjutnya disebut dengan Pulau Dua, berada diwilayah laut Kecamatan Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan).
Sementara itu, akibat dari pertempuran antara sepasang Naga dan Tuan Tapa, masih meninggalkan jejak berupa tongkat. Setelah dipugar, Tongkat itu, dipercayai sebagai tongkat Tuan Tapa.

Kemudian, Bagaimana nasib sang Putri? menurut cerita, Sang Putri akhirnya kembali hidup normal layaknya manusia dan hidup bahagia bersama kedua orangtuanya didaratan cina.